twitterfacebook

Pages

10 Februari 2012

Bocah Kecil Itu, Ia Pikir Tidak Ada Yang Tahu

ilustrasi
Saya mahasiswa tingkat akhir, mahasiswa biasa, manusia biasa bila menurut manusia yang lainnya, dengan sekelumit akal dan pikiran yang terkadang gila terkadang waras dan terkadang membuat teman-teman saya berkata ‘kamu ada ada saja,’ atau bahkan ‘mungkin kalau orang yang ndak kenal sama kamu, dia malu kali ya jalan sama kamu,’ begitu kata seorang teman saya.

Saya mahasiswa, mahasiswa yang mencoba mengais-ngais rahmat, mahasiswa yang mencoba menggapai-gapai kasih, mahasiswa yang mencoba mencari, menemukan, memaknai hingga merasakan apa yang namanya cinta, cinta dari Yang Maha Menciptakan.
Saya mahasiswa, mahasiswa yang berharap akan hikmah dan pelajaran, hikmah dari sebuah perjalanan, pelajaran dari sebuah kehidupan.
Berjalan menyusuri papping-papping jalanan, saya sudah semakin berumur saja. Belum ada prestasi, belum ada sesuatu yang berharga menurut saya yang bisa saya berikan, persembahkan pada Nya, pada Dia yang sudah Menciptakan saya, pada orang tua saya yang sudah melahirkan dan membesarkan saya, pada mereka yang sudah begitu banyak membantu, mengerti, memahami, dan berjasa pada diri ini, tidak juga oh bukan tidak tetapi belum, ya belum, belum juga mampu memberi kontribusi yang berarti terhadap bangsa ini.
Berhenti bercerita tentang diri saya yang sebenarnya mungkin menurut kalian saya mahasiswa yang biasa, tetapi luar biasa menurut saya, dan entah darimana ke-luarbiasaan itu saya menilainya.
Hikmah itu saya temukan, pelajaran itu saya dapatkan di suatu senja. Saat dimana saya berlari mengejar matahari, saat dimana saya berjumpa dengannya dengan nafas yang terengah-engah, dengan peluh keringat yang mengucur deras membasahi, dari kepala hingga ujung kaki ini.
‘Hhh, hsh…hsh… jangan pergi Mentari, temani aku barang sebentar saja di senja yang sendu ini,’ kataku
Ia tersenyum, senyumnya yang merekah mengeluarkan seberkas sinar berwarna kuning keemasan, menyilaukan.
‘Jangan berlari, karena kamu memang tidak perlu berlari, kenapa? karena aku menanti,’ begitu kata sang Mentari.
Duduk dalam diam, di belakang asrama sembari bercengkrama dengan sang Mentari. Melihat burung layang-layang hilir mudik beterbangan, melintasi birunya langit. Kadang ku lihat satu ekor saja yang bergaya di atas langit sana, kadang berkelompok. Mereka menukik, melakukan manuver-manuver yang cukup berbahaya bila itu dilakukan oleh seorang pilot yang nyatanya seorang manusia. Burung-burung yang berada di atas sana merupakan pesawat terbang tercanggih yang pernah ada di jagat raya.
‘Sore ini indah bukan?’
Begitu katanya, sang Mentari mencoba memecah kesunyian.
‘Ya indah, kamu lihat burung-burung itu?’ kataku.
‘Ya mereka teman-teman kecilku, ada apa dengan mereka,’ tanya sang Mentari padaku
‘Ada sesuatu yang aku pelajari dari mereka setiap harinya. Meskipun terkadang hal-hal yang sama, sama seperti hari-hari yang lainnya,’ ujarku padanya.
‘Pelajaran? Apa itu?’ Mentari pun bertanya.
‘Pelajaran bahwa betapa harus bersyukurnya aku, dapat melihat mereka terbang melayang dengan menggunakan mata yang aku punya, yang Dia berikan. Dia baik bukan?’
‘Tidak, Dia tidak baik tetapi Maha baik,’ begitu tambahnya.
‘Ya kamu benar,’ jawabku padanya.
Kembali tenggelam dalam kesunyian, mengamati burung-burung yang beterbangan, daun-daun yang bergerak, air-air yang beriak-riak kecil tertiup angin kencang di saat malam semakin menjelang.
‘Kamu harus segera pergi bukan? Sebentar lagi malam menjelang,’ tanya ku pada Mentari senja itu.
‘Ya, kamu benar,’ jawabnya dengan singkat.
Ada sebuah kebun yang berada tak jauh dari belakang asrama 20 meter sepertinya, terlindung oleh tembok tinggi, tidak akan terlihat seperti apa isi di dalamnya bila dilihat dari ketinggian 2 meter saja, tapi tidak bila dilihat dari lantai dua. Seperti apa kebun itu, apa dan siapa saja yang berada di sana, dan sedang melakukan apa, dapat dilihat dengan jelas dari lantai dua tempat ku berada.
Tak lama, saat-saat dimana Mentari semakin beranjak pergi. Seorang anak kecil berseragam putih merah, entah apa yang ia lakukan, tidak aku tidak juga Mentari tahu akan hal itu.
‘Kamu lihat anak kecil itu?’ tanyaku padanya.
‘Ya, ada apa dengannya?’ jawabnya.
‘Menurutmu, dia akan melakukan apa di hari yang semakin senja ini?’ aku kembali melontarkan tanya.
‘Umm, mungkin menggembala kambing untuk kembali ke kandangnya? Menurutmu?’ ia berbalik bertanya.
‘Sepertinya tidak, sudah beberapa hari terakhir ini, aku tidak pernah melihat kambing-kambing itu lagi,’ jawabku.
‘Lalu?’ tanyanya seolah tak mengerti arah pembicaraanku saat itu.
‘Entahlah, kita lihat saja,’ begitu ujarku padanya.
Aku dan dia mengamati dalam diam, gerak-gerik anak kecil itu tidak nampak mencurigakan. Lama, semakin jauh dia berjalan, untuk kemudian menghampiri sebuah pohon pisang.
Aku dan dia saling memandang dalam diam, ada apa dengan pohon pisang? Tak lama, bocah kecil itu membuka celana seragamnya, untuk kemudian duduk berjongkok di belakang pohon pisang yang tadi dihampirinya. Dan anak kecil itu pun memulai aktifitasnya, dengan khusyuk masyuk.
Diam, saling pandang, untuk kemudian, senyum itu aku sunggingkan, menahan sesuatu yang seharusnya aku keluarkan. Tak lama, kami pun tertawa tergelak tidak tertahan. Ternyata bocah kecil itu tidak ada urusan dengan si pohon pisang, melainkan dengan hajat yang sebenarnya ingin ia tunaikan.
‘Ha…ha…ha…,’ kami pun tertawa.
Masih sedia mengamatinya, bocah kecil itu bergeser semakin ke kanan, mencoba menutupi dirinya dengan besarnya pohon pisang yang juga tinggi menjulang. Bocah itu cukup lama untuk sekedar duduk diam di dalam aktifitasnya.
‘Bocah kecil itu membuang hajatnya,’ begitu kataku padanya, pada sang Mentari senja.
‘Ya, kamu benar. Hajat besar sepertinya, karena dari tadi belum beranjak juga ia dari tempatnya,’ ujar sang Mentari.
‘Ya, mungkin kamu benar,’ balasku.
‘Lihat itu, ia bergeser semakin ke kanan,’ ujar sang Mentari padaku.
‘Mungkin mencari kenyamanan,’ jawabku sekenanya.
‘Kenyamanan? Maksudnya?’ tanda tak mengerti.
Ah susah juga bercakap-cakap denganmu Mentari...
‘Maksudku, mungkin ia tidak mau ada orang lain yang melihatnya melakukan buang hajat itu, atau ia mencari tempat yang lebih aman, agar terhindar dari binatang-binatang yang akan menjadi pengganggu bagi aktifitasnya itu. Seperti ular mungkin,’ jelasku
‘Bisa jadi,’ jawabnya, entah ia setuju atau tidak dengan penjelasanku itu, aku tak tahu
Lalu...
‘Ha…ha…ha,’ kami pun kembali tertawa.
Lama, akhirnya bocah lelaki itu menyudahi hajatnya, tanpa ba bi bu, tanpa air, tanpa daun, tanpa batu yang ganjil dalam jumlahnya. Pergi begitu saja tanpa membersihkan apa yang sudah ia lakukan, saya terdiam menahankan keheranan, bocah lelaki itu pun hilang dari pandangan.
‘Kamu tau, ada sesuatu yang aku dapatkan dari bocah lelaki itu,’ kataku padanya.
‘Ia sudah memberikan sebuah pelajaran berharga padaku yang sudah lebih tua jauh beberapa tahun darinya,’ tambahku.
‘Oh, begitu? lalu apa itu?’ tanya sang Mentari padaku.
Menghela nafas panjang, kemudian ‘ingat dengan tingkah lakunya yang mencari tempat tersembunyi di belakang batang pohon pisang?’ aku mencoba menjelaskan.
‘Ya, aku ingat. Lalu kenapa? Itu wajar saja bukan?’ ia kembali bertanya.
‘Ia bersembunyi agar tidak ada orang yang tahu apa yang sedang ia lakukan, karena bisa jadi ia merasa malu. Tapi, sebenarnya dia tidak tahu, bahwa kamu dan aku melihat apa yang ia lakukan itu,’ jawabku.
‘Ya kamu benar, lalu dimana pelajarannya, karena sepertinya semua nampak biasa saja,’ sang Mentari nampaknya masih belum juga mengerti.
‘Ada, ada pelajaran di sana. Bocah kecil itu mengingatkan aku akan sesuatu, bahwasannya Allah selalu melihatku, kamu dan semua hamba-hamba Nya, dalam keadaan apapun itu, kapanpun itu, dimanapun itu.
Menurut bocah itu, dengan bersembunyi di balik pohon pisang ia akan aman, tapi ternyata kamu dan aku melihat apa yang ia lakukan. Sama halnya dengan aku, manusia, terkadang melakukan sesuatu hingga lupa bahwa Allah melihat apa yang aku lakukan itu. Manusia lain memang mungkin saja tidak tahu akan hal itu, akan hal yang kita lakukan, tapi Dia tidak begitu.
‘Benar bukan?’ jelasku padanya.
Ia tersenyum kemudian berkata, ‘Ya kamu benar.’
‘Baiklah, aku sudah menemanimu sepanjang senja, tepat seperti yang kamu minta. Saatnya untuk menutup hari ini dengan kegelapan, dengan dihiasi bintang-bintang dan pancaran sinar Rembulan. Aku sudah harus pergi, kamu dan manusia-manusia yang lainnya sudah harus beristirahat dengan gelap dan sunyinya malam yang menenangkan,’ begitu katanya.
‘Ya, aku mengerti. Kamu pun sudah harus menyinari bagian lain dari Bumi ini,’ balasku
‘Yup, kamu benar, sampai jumpa wahai manusia,’ begitu kata sang Mentari padaku senja itu
‘Sampai jumpa esok pagi, wahai Mentari,’ ujarku.
‘Dan aku harap, akan ada lagi, hikmah dan pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari apa yang sudah Dia berikan, dari apa yang sudah Dia tebarkan, dari apa yang sudah Dia ciptakan, anugerahkan.
‘Assalammu,’alaikum,’ katanya.
‘Alaikumsalam,’ jawabku.
‘Oh ya, satu hal, kamu tidak perlu berlari, karena insya Allah aku menanti,’ begitu kata sang Mentari itu padaku.
Ia tersenyum untuk kemudian tenggelam di ufuk barat, meninggalkan berkas-berkas sinar keemasan yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan.
Dan adzan Maghrib pun berkumandang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar yang bermanfaat dan berguna :)

 
Terima Kasih
Telah Berkunjung :)
Wassalamua'alaikum